Jenny IT Creatif ™

Informasi dan Teknologi Penunjang Kesuksesan Masa Depan

Monday 10 September 2012

UNSUR POKOK DALAM TAREKAT





UNSUR POKOK DALAM TAREKAT

I.       PENDAHULUAN
Sebelum masuk ke pembahasan mengenai tarekat, terlebih dahulu kita tilik kebelakang. Menurut kacamata kami, tarekat merupakan wujud dari manifestasi tasawuf.
Pada dasarnya tasawuf terkait kepada dua hal pokok, yaitu: (a) kesucian jiwa untuk menghadap Tuhan yang Maha Suci, dan (b) sebuah upaya pendekatan diri secara individual kepada Tuhan. Pada intinya tasawuf merupakan usaha untuk mensucikan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Secara harfiah, tarekat berarti jalan atau metode. Sedangkan secara istilah, tarekat mengandung arti “jalan menuju Allah guna mendapat ridha-Nya dengan cara mena’ati ajaran-Nya.
Namun, pada perkembangannya, tarekat mengalami pergeseran makna. Yang pada mulanya hanya sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan menuju sebuah lembaga latihan keruhanian, atau bisa dikatakan sebagai sebuah organisasi.
Didalam sebuah organisasi sudah pasti terdapat ketentuan-ketentuan, tak terkecuali tarekat. Didalam tarekat juga terdapat sejumlah komponen, yakni: Guru, Murid, Bai’at, Silsilah dan Ajaran, yang mana akan kami  bahas dalam pembahasan makalah ini.

II.    URAIAN MASALAH
A.    Unsur Guru (Mursyid)
B.     Unsur Murid (murad)
C.     Bai’at (janji setia)
D.    Silsilah ( Transmisi)
E.     Adanya Ajaran (dzikir)

III. PEMBAHASAN
A.    Unsur Guru (Mursyid)
Dalam sebuah tarekat, seorang Guru atau disebut syaikh atau Mursyid memiliki peranan yang penting bahkan mutlak. Ia tidak hanya menjadi seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak mneyimpang dari ajaran Allah dan terjerumus dalam kegiatan maksiat, tetapi ia merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya dalam tarekat.
Dalam Ta’lim Muta’allim disebutkan, yang di kutip oleh Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, bahwa “Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.
Ungkapan tersebut secara tidak langsung memberikan dampak, bahwa guru merupakan seorang yang ekslusif. Seakan-akan guru mempunyai otoritas yang mutlak dalam memberikan arahan (ilmu). Ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat (tasawuf) itu sendiri.
Menurut Imam Ghazali yang dikutip dalam bukunya Amin Syukur “Tasawuf Konstektual”, ini berkaitan dengan bidang ilmu, pertama kaitannya dengan ilmu secara umum. Orang awam dalam mempelajari ilmu harus mendapatkan bimbingan dari seorang guru, agar ilmu yang didapatkan bisa terarah dan benar. Kedua,  ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat, yakni tasawuf. Ilmu tawasuf adalah ilmu yang terkait dengan olah jiwa dan olah batin, yang mana didalam mempelajari ilmu ini harus benar-benar dibimbing oleh seorang mursyid yang mempunyai otoritas, yaitu secara spiritual telah mendapatkan mandat dari mursyid-nya untuk menjadi guru dan telah teruji secara praktek dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak tergelincir dari praktek-praktek yang tidak dibenarkan dalam agama.
Oleh karena itu jabatan seorang mursyid ini tidak bisa dipangku oleh sembarang orang, meskipun ia mempunyai lengkap pengetahuannya tentang sesuatu tarekat, tetapi yang terpenting, ia harus mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni.
Dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’ammat al-ilmil ghuyub, yang di kutip oleh Abubakar aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, yang dikarang oleh penganut tarekat Naqsabandiyah, syeikh  Muhammad Amin al-Kurdi, dan mazdhab Syafi’I, yang dinamakan syeikh  itu adalah orang yang sudah mencapai maqam rijalul kamal (seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’, dan demikian itu baru sempurna pengajarannya dari seorang mursyid, yang sudah mencapai kepada maqam yang tinggi itu, dari tingkat ke tingkat hingga kepada Nabi Muhammad dan kepada Allah dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji, wasiat dan memperoleh izin dan ijazah untuk menyampaikan ajaran-ajaran suluk itu kepada orang lain.
Jadi seorang syeikh  yang diakui itu sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki tempat itu karena dorongan nafsunya belaka. Maka Syeikh  yang arif, yang mempunyai sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan seperti yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu tarekat. Syeikh merupakan penghubung, “channel” dan [pembawa wasilah] antara murid-muridnya dan Tuhannya itu. Berkata Imam Ar-Razi, bahwa seorang Syeikh yang tidak berijazah, dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena telah menceraikan murid-murid yang benar dengan pemimpin-peminpinnya yang arif.
Dengan demikian seorang mursyid dalam tarekat mempunyai tanggunga jawab yang besar
Pertama: ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntunan- tuntunan kepada murid-muridnya, baik dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tauhid serta ilmu umum lainnya;
Kedua: bahwa ia mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta memperbaikinya sebagai semula;
Ketiga bahwa ia mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya;
Keempat mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia muridmuridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata umum, tetapi sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang  tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana.
Kelima bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada kesempatan apa pun  juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka.
Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan;
Ketujuh bahwa seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu banyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan muridmuridnya.
Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pendapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu.
Kesembilan seorang mursyid yang jijaksana selalu berlapang dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu apa yang tidak sanggup.
Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang murid, yang karena selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hatinya, makïi segera ia memerintah murid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan mursyidnya itu.
Kesebelas apabila ia melihat bahwa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena kepercayaan dan kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar baginya.
Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyadah yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat menolak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia.
Ketiga belas apabila seorang mengundangnya, maka ia menerima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu juga dengan rasa merendahkan diri.
Keempat Belas hendaklah ia suka bertanya tentang seseorang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia tidak hadir itu. Serta adab (prilaku-prilaku) lainnya yang sesuai dengan al-qur’an dan as-sunnah.

B.     Unsur Murid (murad)
Murid merupakan pengikut suatu tarekat. Yaitu orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam segala amal ibadatnya. Murid tidak hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan segala sesuatu yang dilatih guru kepadanya, tetapi harus patuh kepada beberapa adab dan akhlak yang ditentukan untuknya, baik kepada guru, dirisendiri, maupun orang lain.
Abu Hafsa al-Nisaburi mengatakan: "Sufism terdiri dari adab (kelakuan baik). Untuk setiap keadaan dan tingkat terdapat adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap waktu terdapat kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab akan mencapat Maqam Insan al-Kamil, dan barang siapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah."
Adab (Kelakuan baik) dari murid sesungguhnya tiada batasnya. Dia hendaknya selalu berusaha keras (jihad) dan membuat kemajuan dengan Gurunya, dengan sesama saudaranya, dengan masyarakatnya, dan dengan Bangsanya, karena Allah selalu memperhatikan dia, Nabi Muhammad saw selalu memperhatikan dia, Guru selalu memperhatikan dia, dan para Guru-Guru yang telah mendahului mereka selalu memperhatikan mereka. Dengan kemajuan yang tetap, hari demi hari, dia akan mencapai keadaan kesempurnaan dengan petunjuk dan bantuan Gurunya.
Adab dalam tarekat adalah merupakan suatu ajaran yang sangat prinsip, tanpa adab tidak mungkin seorang murid dapat mencapai tujuan suluk-nya. Secara garis besar adab oleh seorang murid ada empat, yaitu adab kepada Allah dan Rasul-Nya, adab kepada Syekh (Mursyid atau gurunya), adab kepada diri sendiri dan adab kepada Ikhwan (Sudara seiman).
Adapun adab seorang murid terhadap seorang mursyid menurut Amru dalam majalah An-Najah yang di kutip dari buku Adabul ‘alim wal Muta’allim karya Imam Nawawi bab Adab-adab seorang murid yaitu:
1.   Hendaknya ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran agar baik dalam menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu tersebut.
2.   Dan Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari kesempurnaan dalam mendapatkan ilmu, dan ridho dengan sedikit dari makanan serta bersabar dari kesempitan hidup. Berkata Asy Syafi’I rahimahullah : Tidaklah seseorang mencari ilmu ini [ ilmu diin ] dengan kekayaan dan kemuliaan jiwa dan mendapatkan keberuntungan. Akan tetapi barang siapa mencarinya dengan kehinaan diri dan kesempitan hidup dan berhidmat terhadap ‘ulama ia akan mendapat keberhasilan. Dan berkata juga : tidaklah ilmu didapatkan kecuali dengan kesabaran dan kehinaan. Dan beliau juga berkata : tidaklah pencari ilmu itu akan berhasil kecuali dengan kebangrutan, dan dikatakan : dan tidak pula kekayaan serta kecukupan.
3.   Dan hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan ketawadhu’an ia akan mendapatkan ilmu.
4.   Mereka berkata dan janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah sempurna keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.
5.   Mereka berkata dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil ilmunya hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang syaikh atau syaikh yang pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari buku akan terjerumus dalam kesalahan [pengucapan] dan banyak darinya kerumitan dan penyimpangan.
6.   Dan hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan berkeyakinan atas kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka ia akan dapat lebih banyak mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia dengarkan dari gurunya dalam ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika pergi pada gurunya bershodaqah dengan sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah semoga engkau menutupi ‘aib guru saya dariku, dan janganlah engkau jauhkan barokah ilmunya dariku.
7.   Dan diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun menyelisihi pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak menyebarkannya secara sembunyi-sembunyi. Dan hendanya membantah aibnya jika ia mendengarnya. Jika ia lemah hendanya ia berpisah dari majlis.
8.   Dan janganlah masuk kecuali dengan izinnya. Dan jika masuk satu kelompok hendaklah mendahulukan yang lebih utama dan lebih tua.
9.   Dan hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, kosongnya hati dari berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, memotong kumis, serta menghilangkan bau yang tidak sedap.
10.                 Dan memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara yang bisa diderkan seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap syaikhnya sebagai tambahan penghormatan, demikian pula memberi salam ketika keluar majlis. Dan dalam sebuah hadist ada perintah tentang hal tersebut serta tidaklah berpaling pada siapa saja yang mengingkarinya. Dan telah kami permasalaahn ini dalam kitab al adzkar.



C.     Bai’at (janji setia)
Bai’at dalam bahasan tarekat merupakan janji setia yang biasanya diucapkan oleh calon salik dihadapan Mursyid untuk menjalankan segala persuaratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun sesuatu yang melandasi bai’at terdapat pada al-Qur’an surat al-Fath (48) ayat 10:

Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
Dalam tarekat, biasanya bai’at dijadikan syarat khusus bagi calon salik sebelum masuk ke tarekat. Ini ditujukan sebagai tanda loyalitas dan perwujudan kesetiaan pada Islam dan juga pada tarekat.
Bai’at itu sendiri ada dua macam, yaitu Bai’at Shuwariyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang hanya sekedar ia mengakui bahwa Mursyid yang mem-bai’at-nya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi, dan Mursyid itu pun mengakui, orang tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk menetap tinggal dalam zawiyah tarikat itu untuk terus-menerus bersuluk atau berzikir. Ia boleh tinggal di rumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan tugasnya. Ia sekadar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada malam-malam tertentu dan ber-tawasul kepada gurunya itu. Ia dan keluarganya bersilaturrahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula. Apabila ia memperoleh kesulitan dalam hidup ini, ia berkonsultasi dengan gurunya itu pula.
Bai’at ma’nawiyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang bersedia untuk dididik dan dilatih menjadi sufi yang arif billah. Kesediaan salik untuk dididik menjadi sufi itu pun sudah barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru tarikat itu. Salik yang masuk tarikat melalui bai’at yang demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas keduniaan. Ia berkhalwat dalam zawiyah tarikat di dalam penegelolaan syekhnya.Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun bahkan belasan tahun.

D.    Silsilah ( Transmisi)
Jika para ulama merupakan pewaris nabi yang mengajarkan ilmu lahir, maka mursyid tarekat merupakan pewaris nabi yang mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin.Oleh karena itu, Seperti fungsi sanad dalam hadis, keberadaan silsilah dalam tarekat berfungsi menjaga validitas dan otentisitas ajara tarekat agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama, Rasulullah Muhammad Saw.
Dibawah ini terdapat beberapa salasul. Rabbani menyebutkan setidaknya ada lebih dari 40 salasul. Beberapa diantara salasul yang terkenal adalah:
1.      Silsilah Qadiriyah. Nama ini merujuk pada Abd al-Qadir al-Jilani, ia adalah khalifah dar Abu Said Makhzumi, khalifah dari Abu al-Hasan Ali al-Qarshi, khalifah dari Abu al-Farah al-Tartusi, khalifah dari Junayd al-Baghdadi bersambung terus sampai Imam Ali. Al-Jilani meminta jubah kekhalifahan melalui jaringan keturunan Imam Hasan bin Abi Thalib dengan 11 jaringan di antaranya.
2.      Silsilah Yasuya. Dipimpin oleh Ahmad Yasui yang dikenal sebagai “Shaykh of Turkistan”. Dia adalah khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali Farmadi (Shaykh Abu Hamid al-Gazali), khalifah Abd al-Qasim Gorgani, khalifah Abu Usman Maghribi, khalifah Abu Katib, khalifah Abu Ali Rodbari, khalifah Junayd Baghdadi terus hingga ke Imam Ali. Ahmad Yasui juga memperoleh jaringan ke Imam Ali dari para shaykh melalui Muhammad Hanafiyah, anak Imam Ali dari istri lainnya.
3.      Silsilah Naqshabandiyah. Dinamai dengan nama Bahau al-Din Naqshaband. Dia adalah khalifah Amir Syed Kalal, khalifah Muhammad Samasi, khalifah Ali Ramatani, khalifah Mahmud Abu Khayr Faghnavi, khalifah Arif Regviri, khalifah Abd al-Khaliq Ghayidwani, khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali farmadi, khalifah Abu al-Qasim Gorgani, yang berjaring ke atas dengan Junayd al-Baghdadi dengan 3 jaringan di antaranya. Abu al-Qasim juga berjaringan ke atas dengan Abu Bakar melalui Abu al-Hasan Khargani, Abu Yazid al-Bistami, dan Ja’far Shiddiq.
4.      Silsilah Nuriyah. Dinamai dengan Shaykh Abu al-Hasan Nuri. Dia adalah khalifah dari Sari Saqti.
5.      Silsilah Khazruyah. Diambil dari nama Ahmad Khazruya yang merupakan khalifah dari Hatim Asum, khalifah Saqiq Balkhi, khalifah Muhammad Ali Ishqi, khalifah Ibrahim Adham yang menerima kekhalifahan dari Fudhayl bin Ayyas sebagaimana Imam Muhammad Baqir, cucu Imam Hussein.
6.      Silsilah Shattariyah. Dari Muhammad Arif, khalifah Muhammad Ali Ishqi, khalifah Shaykh Khuda Qali Mawara al-nahri, khalifah Abd al-Hasan al-Ishqi, khalifah Abi Mudhaffar Mawlana Turk Tusi, khalifah Bayazid al-Ishqi, khalifah Muhammad Maghribi, khalifah Abu Yazid al-Bistami hingga Imam Ali.
7.      Silsilah Sadat Karram. Pemimpin silsilah ini adalah Jalal al-Din Bukhari, khalifah leluhurnya dari imam-imam Ahl al-Bayt dengan 15 jejaring antara dia dan Imam Ali. Dia menerima lebih dari 2 jubah kekhalifahan. Satu dari Shaykh Rukun al-Din Suhrawardi, cucu dari Bahau al-Din Multan, yang lain dari Shaykh Nasir al-Din khalifah dari Nizam al-Din Awlia, khalifah Baba Farid al-Din Ganjshaker, khalifah dari Qutb al-Din Bakhtiar, khalifah Muin al-Din Ajmeri..
8.      Silsilah Zahidiyah. Dari Badr al-Din Zahid yang merupakan khalifah Sadr al-din Samarqand, khalifah Abd al-Qasim, khalifah Qutb al-Din Abd al-Majid, khalifah Abu Ishaq Gazruni, khalifah Hussain Bazyar dari Herat, khalifah Muhammad Roem, khalifah Junayd Baghdadi hingga ke Imam Ali.
9.      Silsilah Anshariyah. Dimulai dari Abd Allah Anshari, khalifah dari Abd al-Hasan Qirqani, khalifah Abi Yazid Bistami. Dia juga menyambung dari Abu al-Abbas Qassab, khalifah dari Abu Muhammad Abd Allah Tabri, khalifah Abu Muhammad al-Dariri, khalifah Junayd Baghdadi hingga ke Imam Ali.
10.  Silsilah Safwiyah. Dari Safi’ al-Din Ishaq, khalifah Zahid, khalifah Jamal al-Din Tabrizi, khalifah Shihab al-Din Abhari, khalifah Rukun al-Din Sajjazi, khalifah Qurb al-Din Abhari, khalifah Abu Najib Suhrawardi yang menyambung hingga ke Junayd Baghdadi sampai ke Imam Ali.
11.  Silsilah Idrusiyah. Dari Mir Abd Allah al-Makki Idrusi, dia adalah khalifah dari Abu Bakar, khalifah Abd al-Rahman, khalifah dari Shaykh Mawla, khalifah Ali, khalifah Shaykh Alwi, khalifah Muhammad bin Ali, khalifah Abu Muhammad Maghribi, berjenjang ke atas sampai ke Junayd Baghdadi. Shaykh Idrus juga menerima kekhalifahan dari silsilah Suhrawardi.
12.  Silsilah Qalandariyah. Silsilah ini berada di beberapa shaykh yang memiliki beberapa silsilah. Dikenal dengan Qalandariyah karena anggotanya merupakan kaum Qalandari (kaum sufi mabuk). Beberapa Qalander adalah: Muhammad Qalander, Shaykh Haidar Qalander, Hussein Balkhi, Shaykh Tabrizi, Fakhr al-Din Iraqi, dll.

E.     Adanya Ajaran (dzikir)
Salah satu bagian terpenting dalam tarekat yang hampir selalu dikerjakan ialah dzikir. Dzikir artinya mengingat kepada Tuhan. Akan tetapi dalam mengingat kepada tuhan, dalam tarekat dibantu dengan berbagai macam ucapan, yang menyebut nama Allah atau sifat-sifatnya, atau kata-kata yang mengingat kepada Allah.
Ahli tarekat berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin, jika lahir batinnya dilihat Allah dan segala perbuatan diawasi Allah, dan ucapannya di dengar Allah, segala niat dan cita-cita di ketahui Allah, maka hamba itu akan menjadi sorang yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan memperhambakan dirinya kepada Allah.
Lalu zikir berarti menyebut-nyebut nama Allah atau ma'rifat Allah, yang pada keyakinan mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, pertama seorang hamba Allah dan kedua kasih kepada Allah.
Jika seorang hamba Allah takut kepada Allah, maka segala suruhnya akan dikerjakannya dan segala larangannya akan dihentikannya. Seorang yang kasih kepada Allah tentu akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang disukai Allah dan menggiatkan dia menjauhkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta'at, dan keempat berbuat dosa.Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun naik, mestilah ia mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong, tekebur dan tinggi hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur kepada Tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.
Dengan alasan itulah golongan tarekat mempertahankan dzikir, tidak saja arti mengingat Allah dalam hati, tetapi menyebut Allah senantiasa kala dengan lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Mereka beranggapan, jika segala perbuatan dikerjakan tanpa mengingat Allah, maka mereka beranggapan kegiatan itu adalah kosong, akan hampa dari pahala yang sebenarnya.
Di antara dalil-dalil yang mereka (golongan tarekat) kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama: Kerana mengerjakan zikir itu mengingatkan kepada Allah, dan semata-mata menjunjung nama Allah. Firman Allah: "Hai segala mereka yang percaya kepada Allah sebut olehmu akan Allah dengan sebutan yang banyak dan ucaplah tasbih pada pagi-pagi dan petang- petang". (Quran Al-Mu’minun: 41).
Kedua: Orang yang zikir Allah itu mengingat akan Allah dan Allah mengingat pula akan orang itu. Firman Allah: "Sebut olehmu akan Daku, nescaya Aku menyebut pula akan dikau". (Quran al-Baqoroh: 152).
Ketiga: Dalam zikir Allah itu nyata benar kebesaran Allah, bahkan untuk selama hidup, Firman Allah: "Zikir Allah itu terlebih besar daripada ibadat-ibadat yang lain". (Quran an-Nur: 45).
Keempat: Zikir Allah itu menyembuhkan segaia penyakit di dalam hati Dalam kitab-kitab tasawuf  jumlah penyakit di dalam hati itu ada kira-kira 60 macam. Maka untuk menyembuhkan segala penyakit itu ialah dengan zikir Allah. Sabda Nabi: "Menyebut Allah itu ialah menyembuhkan penyakit. hati ertinya memperbaiki hati". (Hadis Daihumi dari Anas bin Malik).
Kelima: Zikir Allah itu menetapkan hati dan jikalau hati sudah tetap akan segala anggota yang tujuh pun akan tetap pula mengerjakan segala suruhan Allah, demikian sebaliknya. Firman Allah: "Ada pun segala mereka yang iman, yang percaya kepada Allah dan yang tetap hatinya dengan zikir Allah, ketahuilah olehmu bahawa dengan berzikir itu segala hati akan tetap" (Quran ar-Ra’ad: 28).



IV. PENUTUP
Demikian makalah ini kami sampaikan, semoga melalui pengetahuan ini dapat menambah ketaqwaan kita terhadap Allah, dan dapat menuju puncak keindahan dalam dunia tasawuf.




DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga belas, Solo: Ramadhani, 1996.
Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Solo: Ramadhani, 1989.
Atjeh , Aboebakar, Tarekat Dalam Tasawwuf, Cet. Ke 6, Kota Bharu Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993.
Burhani, Ahmad Najib, “Tarekat” Tanpa Tarekat: Jalan Baru Menuju Sufi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008.
Syukur, Amin, Tasawuf Konstektual: Solusi Problem Manusia Modern, ­Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.


[1] Unsur Pokok dalam Tarekat Adalah salah satu bahan diskusi dalam mata kuliah tarekat dan suluk, yang diampu oleh Prof. Dr. Amin Syukur, MA.
[2] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008, h. 36.
[3] Amin Syukur, Tasawuf Konstektual: Solusi Problem Manusia Modern, ­Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 50.
[4] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik,Cet. Ketiga belas, Solo: Ramadhani, 1996, h. 80.
[5] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Solo: Ramadhani, 1989, h. 80.
[6] Abubakar Aceh, Ibid, h. 84.
[8] Amin Syukur, Op. Cit, h. 53.
[9] Sokhi Huda, Op. Cit, h. 66.
[10] Sokhi Huda, ibid, h. 65.
[12] Abubakar Aceh, Op. Cit, h. 278.
[13] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Op.cit, h. 279.
[14] Aboebakar Atjeh, Tarekat Dalam Tasawwuf, Cet. Ke 6, Kota Bharu Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993, h. 20.

No comments:

Post a Comment