I. PENDAHULUAN
Sebelum
masuk ke pembahasan mengenai tarekat, terlebih dahulu kita tilik
kebelakang. Menurut kacamata kami, tarekat merupakan wujud dari
manifestasi tasawuf.
Pada
dasarnya tasawuf terkait kepada dua hal pokok, yaitu: (a) kesucian jiwa
untuk menghadap Tuhan yang Maha Suci, dan (b) sebuah upaya pendekatan
diri secara individual kepada Tuhan. Pada intinya tasawuf merupakan
usaha untuk mensucikan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar dalam
kehidupan.
Secara harfiah, tarekat
berarti jalan atau metode. Sedangkan secara istilah, tarekat mengandung
arti “jalan menuju Allah guna mendapat ridha-Nya dengan cara mena’ati
ajaran-Nya.
Namun,
pada perkembangannya, tarekat mengalami pergeseran makna. Yang pada
mulanya hanya sebuah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan menuju
sebuah lembaga latihan keruhanian, atau bisa dikatakan sebagai sebuah
organisasi.
Didalam
sebuah organisasi sudah pasti terdapat ketentuan-ketentuan, tak
terkecuali tarekat. Didalam tarekat juga terdapat sejumlah komponen,
yakni: Guru, Murid, Bai’at, Silsilah dan Ajaran, yang mana akan kami bahas dalam pembahasan makalah ini.
II. URAIAN MASALAH
A. Unsur Guru (Mursyid)
B. Unsur Murid (murad)
C. Bai’at (janji setia)
D. Silsilah ( Transmisi)
E. Adanya Ajaran (dzikir)
III. PEMBAHASAN
A. Unsur Guru (Mursyid)
Dalam sebuah tarekat, seorang Guru atau disebut syaikh atau Mursyid memiliki
peranan yang penting bahkan mutlak. Ia tidak hanya menjadi seorang
pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan
pergaulan sehari-hari, agar tidak mneyimpang dari ajaran Allah dan
terjerumus dalam kegiatan maksiat, tetapi ia merupakan pemimpin
kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya dalam tarekat.
Dalam Ta’lim Muta’allim disebutkan, yang di kutip oleh Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, bahwa “Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.
Ungkapan
tersebut secara tidak langsung memberikan dampak, bahwa guru merupakan
seorang yang ekslusif. Seakan-akan guru mempunyai otoritas yang mutlak
dalam memberikan arahan (ilmu). Ini berkaitan dengan kajian ilmu tarekat
(tasawuf) itu sendiri.
Menurut Imam Ghazali yang dikutip dalam bukunya Amin Syukur “Tasawuf Konstektual”, ini berkaitan dengan bidang ilmu, pertama
kaitannya dengan ilmu secara umum. Orang awam dalam mempelajari ilmu
harus mendapatkan bimbingan dari seorang guru, agar ilmu yang didapatkan
bisa terarah dan benar. Kedua, ini berkaitan dengan kajian ilmu
tarekat, yakni tasawuf. Ilmu tawasuf adalah ilmu yang terkait dengan
olah jiwa dan olah batin, yang mana didalam mempelajari ilmu ini harus
benar-benar dibimbing oleh seorang mursyid yang mempunyai otoritas, yaitu secara spiritual telah mendapatkan mandat dari mursyid-nya
untuk menjadi guru dan telah teruji secara praktek dalam kehidupan
sehari-hari, agar tidak tergelincir dari praktek-praktek yang tidak
dibenarkan dalam agama.
Oleh karena itu jabatan seorang mursyid
ini tidak bisa dipangku oleh sembarang orang, meskipun ia mempunyai
lengkap pengetahuannya tentang sesuatu tarekat, tetapi yang terpenting,
ia harus mempunyai kebersihan rohani dan kehidupan batin yang murni.
Dalam kitab Tanwirul Qulub fi Mu’ammat al-ilmil ghuyub, yang di kutip oleh Abubakar aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat, yang dikarang oleh penganut tarekat Naqsabandiyah, syeikh Muhammad Amin al-Kurdi, dan mazdhab Syafi’I, yang dinamakan syeikh itu adalah orang yang sudah mencapai maqam rijalul kamal
(seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu syari’at dan hakikat
menurut al-Qur’an, sunnah dan ijma’, dan demikian itu baru sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid, yang sudah mencapai kepada
maqam yang tinggi itu, dari tingkat ke tingkat hingga kepada Nabi
Muhammad dan kepada Allah dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan
janji, wasiat dan memperoleh izin dan ijazah untuk menyampaikan
ajaran-ajaran suluk itu kepada orang lain.
Jadi seorang syeikh yang diakui itu sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki tempat itu karena dorongan nafsunya belaka. Maka Syeikh yang
arif, yang mempunyai sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan seperti
yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu tarekat. Syeikh merupakan penghubung, “channel” dan [pembawa wasilah] antara murid-muridnya dan Tuhannya itu. Berkata Imam Ar-Razi, bahwa seorang Syeikh yang
tidak berijazah, dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada
memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena telah
menceraikan murid-murid yang benar dengan pemimpin-peminpinnya yang
arif.
Pertama:
ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntunan- tuntunan kepada
murid-muridnya, baik dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tauhid serta ilmu umum
lainnya;
Kedua:
bahwa ia mengenal atau arif dengan segala sifat-sifat kesempurnaan
hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penyakitnya,
begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta memperbaikinya
sebagai semula;
Ketiga bahwa ia mempunyai belas kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya;
Keempat
mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia muridmuridnya, tidak
membuka kebaikan mereka terutama di depan mata umum, tetapi sebaliknya
mengawasi dengan pandangan Sufinya yang tajam serta memperbaikinya
dengan cara yang sangat bijaksana.
Kelima
bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mempergunakan
harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada kesempatan apa pun
juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa yang ada pada mereka.
Keenam
bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh atau memerintah murid-muridnya itu
dengan suatu perintah, kecuali jika yang demikian itu layak dan pantas
juga dikerjakan olehnya sendiri, demikian juga dalam melarang segala
macam perbuatan;
Ketujuh
bahwa seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu
banyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan
muridmuridnya.
Kedelapan
ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan,
terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pendapatnya akan memberi bekas
kepada kehidupan bathin murid-muridnya itu.
Kesembilan
seorang mursyid yang jijaksana selalu berlapang dada, ikhlas, tidak
ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu apa yang tidak
sanggup.
Kesepuluh
apabila ia melihat ada seorang murid, yang karena selalu bersama-sama
dan berhubungan dia, memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hatinya,
makïi segera ia memerintah murid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat
yang tidak jauh, juga tidak terlalu dekat dengan mursyidnya itu.
Kesebelas
apabila ia melihat bahwa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam
anggapan dan hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang
bijaksana untuk mencegah yang demikian itu, karena kepercayaan dan
kehormatan yang berkurang itu, merupakan musuh terbesar baginya.
Kedua belas
jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk tertentu dan pada
waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk memperbaiki hal mereka.
Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat perhatiannya yang penuh ialah
kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu timbul pada muridnya yang masih
dalam didikan. Kadang-kadang murid itu menceritakan kepadanya tentang
sesuatu ru'yah yang dilihatnya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan
musyadah yang dihadapinya, yang di dalamnya terdapat perkara-perkara
yang istimewa, maka hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara
tentang itu. Sebaliknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang
dapat menolak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat
muridnya ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia.
Ketiga belas apabila
seorang mengundangnya, maka ia menerima undangan itu dengan penuh
kehormatan dan penghargaan, begitu juga dengan rasa merendahkan diri.
Keempat Belas hendaklah
ia suka bertanya tentang seseorang murid yang tidak hadir atau
kelihatan serta memeriksa sebab-sebab ia tidak hadir itu. Serta adab
(prilaku-prilaku) lainnya yang sesuai dengan al-qur’an dan as-sunnah.
B. Unsur Murid (murad)
Murid
merupakan pengikut suatu tarekat. Yaitu orang yang menghendaki
pengetahuan dan petunjuk dalam segala amal ibadatnya. Murid tidak hanya
berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau melakukan
segala sesuatu yang dilatih guru kepadanya, tetapi harus patuh kepada
beberapa adab dan akhlak yang ditentukan untuknya, baik kepada guru,
dirisendiri, maupun orang lain.
Abu Hafsa al-Nisaburi mengatakan: "Sufism
terdiri dari adab (kelakuan baik). Untuk setiap keadaan dan tingkat
terdapat adab yang sesuai (dengan tingkat dan keadaan itu). Untuk setiap
waktu terdapat kelakuan yang sesuai. Barangsiapa mempertahankan adab
akan mencapat Maqam Insan al-Kamil, dan barang siapa meninggalkan adab akan dijauhkan dari keterterimaan ke dalam Hadhirat Allah."
Adab (Kelakuan baik) dari murid sesungguhnya tiada batasnya. Dia hendaknya selalu berusaha keras (jihad)
dan membuat kemajuan dengan Gurunya, dengan sesama saudaranya, dengan
masyarakatnya, dan dengan Bangsanya, karena Allah selalu memperhatikan
dia, Nabi Muhammad saw selalu memperhatikan dia, Guru selalu
memperhatikan dia, dan para Guru-Guru yang telah mendahului mereka
selalu memperhatikan mereka. Dengan kemajuan yang tetap, hari demi hari,
dia akan mencapai keadaan kesempurnaan dengan petunjuk dan bantuan
Gurunya.
Adab
dalam tarekat adalah merupakan suatu ajaran yang sangat prinsip, tanpa
adab tidak mungkin seorang murid dapat mencapai tujuan suluk-nya. Secara
garis besar adab oleh seorang murid ada empat, yaitu adab kepada Allah
dan Rasul-Nya, adab kepada Syekh (Mursyid atau gurunya), adab kepada diri sendiri dan adab kepada Ikhwan (Sudara seiman).
Adapun adab seorang murid terhadap seorang mursyid menurut Amru dalam majalah An-Najah yang di kutip dari buku Adabul ‘alim wal Muta’allim karya Imam Nawawi bab Adab-adab seorang murid yaitu:
1. Hendaknya
ia selalu membersihkan hatinya dari berbagai kotoran agar baik dalam
menerima ilmu dan penjagaannya serta buah dari ilmu tersebut.
2. Dan
Hendaknya memutus hubungan yang menyibukkan dari kesempurnaan dalam
mendapatkan ilmu, dan ridho dengan sedikit dari makanan serta bersabar
dari kesempitan hidup. Berkata Asy Syafi’I rahimahullah : Tidaklah seseorang mencari ilmu ini [ ilmu diin
] dengan kekayaan dan kemuliaan jiwa dan mendapatkan keberuntungan.
Akan tetapi barang siapa mencarinya dengan kehinaan diri dan kesempitan
hidup dan berhidmat terhadap ‘ulama ia akan mendapat keberhasilan. Dan
berkata juga : tidaklah ilmu didapatkan kecuali dengan kesabaran dan
kehinaan. Dan beliau juga berkata : tidaklah pencari ilmu itu akan
berhasil kecuali dengan kebangrutan, dan dikatakan : dan tidak pula
kekayaan serta kecukupan.
3. Dan hendaklah ia tawadhu’ terhadap ilmu dan guru, dengan ketawadhu’an ia akan mendapatkan ilmu.
4. Mereka
berkata dan janganlah mengambil ilmu kecuali dari orang yang telah
sempurna keilmuannya, dan nampak kebaikan dinnya, dan telah sempurna
pengetahuannya, dan telah terkenal penjagaan dan kepemimpinannya.
5. Mereka
berkata dan janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang mengambil
ilmunya hanya dari buku-buku tanpa dibacakan kepada seorang syaikh atau
syaikh yang pandai. Maka barang siapa yang tidak mengambil ilmu kecuali
dari buku akan terjerumus dalam kesalahan [pengucapan] dan banyak
darinya kerumitan dan penyimpangan.
6. Dan
hendaknya melihat gurunya dengan rasa hormat, dan berkeyakinan atas
kesempurnaan dan kepandiannya dalam berbidang. Maka ia akan dapat lebih
banyak mengambil manfaat serta mengilmui apa yang ia dengarkan dari
gurunya dalam ingatannya. Bahwa orang-orang dahulu jika pergi pada
gurunya bershodaqah dengan sesuatu. Dan berdo’a : Ya Allah semoga engkau
menutupi ‘aib guru saya dariku, dan janganlah engkau jauhkan barokah
ilmunya dariku.
7. Dan
diantara adab murid hendaknya memilih ridho guru walaupun menyelisihi
pendapatnya. Dan tidak mencela dihadapannya. Dan tidak menyebarkannya
secara sembunyi-sembunyi. Dan hendanya membantah aibnya jika ia
mendengarnya. Jika ia lemah hendanya ia berpisah dari majlis.
8. Dan janganlah masuk kecuali dengan izinnya. Dan jika masuk satu kelompok hendaklah mendahulukan yang lebih utama dan lebih tua.
9. Dan
hendaklah masuk dengan keadaan yang paling baik, kosongnya hati dari
berbagai kesibukan, bersih dengan siwak, memotong kumis, serta
menghilangkan bau yang tidak sedap.
10. Dan
memberikan salam terhadap seluruh hadirin dengan suara yang bisa
diderkan seluruh ruangan. Dan menghususkan terhadap syaikhnya sebagai
tambahan penghormatan, demikian pula memberi salam ketika keluar majlis.
Dan dalam sebuah hadist ada perintah tentang hal tersebut serta
tidaklah berpaling pada siapa saja yang mengingkarinya. Dan telah kami
permasalaahn ini dalam kitab al adzkar.
C. Bai’at (janji setia)
Bai’at dalam bahasan tarekat merupakan janji setia yang biasanya diucapkan oleh calon salik dihadapan Mursyid untuk menjalankan segala persuaratan yang ditetapkan oleh seorang mursyid dan tidak akan melanggarnya sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun sesuatu yang melandasi bai’at terdapat pada al-Qur’an surat al-Fath (48) ayat 10:
Artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka,
Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya
kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
Dalam tarekat, biasanya bai’at dijadikan syarat khusus bagi calon salik sebelum masuk ke tarekat. Ini ditujukan sebagai tanda loyalitas dan perwujudan kesetiaan pada Islam dan juga pada tarekat.
Bai’at itu sendiri ada dua macam, yaitu Bai’at Shuwariyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang hanya sekedar ia mengakui bahwa Mursyid yang mem-bai’at-nya ialah gurunya tempat ia berkonsultasi, dan Mursyid itu pun mengakui, orang tersebut adalah muridnya. Ia tidak perlu meninggalkan keluarganya untuk menetap tinggal dalam zawiyah
tarikat itu untuk terus-menerus bersuluk atau berzikir. Ia boleh
tinggal di rumahnya dan bekerja sehari-hari sesuai dengan tugasnya. Ia
sekadar mengamalkan wirid yang diberikan oleh gurunya itu pada
malam-malam tertentu dan ber-tawasul kepada gurunya itu. Ia dan
keluarganya bersilaturrahmi kepada gurunya itu sewaktu-waktu pula.
Apabila ia memperoleh kesulitan dalam hidup ini, ia berkonsultasi dengan
gurunya itu pula.
Bai’at ma’nawiyah, yaitu bai’at bagi seorang kandidat salik yang bersedia untuk dididik dan dilatih menjadi sufi yang arif billah. Kesediaan salik untuk dididik menjadi sufi itu pun sudah barang tentu berdasarkan pengamatan dan keputusan guru tarikat itu. Salik yang masuk tarikat melalui bai’at
yang demikian harus meninggalkan anak-istri dan tugas keduniaan. Ia
berkhalwat dalam zawiyah tarikat di dalam penegelolaan syekhnya.Khalwat ini bisa berlangsung selama beberapa tahun bahkan belasan tahun.
D. Silsilah ( Transmisi)
Jika para ulama merupakan pewaris nabi yang mengajarkan ilmu lahir, maka mursyid tarekat merupakan pewaris nabi yang mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin.Oleh karena itu, Seperti fungsi sanad dalam hadis, keberadaan silsilah
dalam tarekat berfungsi menjaga validitas dan otentisitas ajara tarekat
agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama, Rasulullah Muhammad
Saw.
Dibawah ini terdapat beberapa salasul. Rabbani menyebutkan setidaknya ada lebih dari 40 salasul. Beberapa diantara salasul yang terkenal adalah:
1. Silsilah
Qadiriyah. Nama ini merujuk pada Abd al-Qadir al-Jilani, ia adalah
khalifah dar Abu Said Makhzumi, khalifah dari Abu al-Hasan Ali
al-Qarshi, khalifah dari Abu al-Farah al-Tartusi, khalifah dari Junayd
al-Baghdadi bersambung terus sampai Imam Ali. Al-Jilani meminta jubah
kekhalifahan melalui jaringan keturunan Imam Hasan bin Abi Thalib dengan
11 jaringan di antaranya.
2. Silsilah
Yasuya. Dipimpin oleh Ahmad Yasui yang dikenal sebagai “Shaykh of
Turkistan”. Dia adalah khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali Farmadi
(Shaykh Abu Hamid al-Gazali), khalifah Abd al-Qasim Gorgani, khalifah
Abu Usman Maghribi, khalifah Abu Katib, khalifah Abu Ali Rodbari,
khalifah Junayd Baghdadi terus hingga ke Imam Ali. Ahmad Yasui juga
memperoleh jaringan ke Imam Ali dari para shaykh melalui Muhammad
Hanafiyah, anak Imam Ali dari istri lainnya.
3. Silsilah
Naqshabandiyah. Dinamai dengan nama Bahau al-Din Naqshaband. Dia adalah
khalifah Amir Syed Kalal, khalifah Muhammad Samasi, khalifah Ali
Ramatani, khalifah Mahmud Abu Khayr Faghnavi, khalifah Arif Regviri,
khalifah Abd al-Khaliq Ghayidwani, khalifah Yusuf Hamdani, khalifah Ali
farmadi, khalifah Abu al-Qasim Gorgani, yang berjaring ke atas dengan
Junayd al-Baghdadi dengan 3 jaringan di antaranya. Abu al-Qasim juga
berjaringan ke atas dengan Abu Bakar melalui Abu al-Hasan Khargani, Abu
Yazid al-Bistami, dan Ja’far Shiddiq.
4. Silsilah Nuriyah. Dinamai dengan Shaykh Abu al-Hasan Nuri. Dia adalah khalifah dari Sari Saqti.
5. Silsilah
Khazruyah. Diambil dari nama Ahmad Khazruya yang merupakan khalifah
dari Hatim Asum, khalifah Saqiq Balkhi, khalifah Muhammad Ali Ishqi,
khalifah Ibrahim Adham yang menerima kekhalifahan dari Fudhayl bin Ayyas
sebagaimana Imam Muhammad Baqir, cucu Imam Hussein.
6. Silsilah
Shattariyah. Dari Muhammad Arif, khalifah Muhammad Ali Ishqi, khalifah
Shaykh Khuda Qali Mawara al-nahri, khalifah Abd al-Hasan al-Ishqi,
khalifah Abi Mudhaffar Mawlana Turk Tusi, khalifah Bayazid al-Ishqi,
khalifah Muhammad Maghribi, khalifah Abu Yazid al-Bistami hingga Imam
Ali.
7. Silsilah Sadat Karram. Pemimpin silsilah
ini adalah Jalal al-Din Bukhari, khalifah leluhurnya dari imam-imam Ahl
al-Bayt dengan 15 jejaring antara dia dan Imam Ali. Dia menerima lebih
dari 2 jubah kekhalifahan. Satu dari Shaykh Rukun al-Din Suhrawardi,
cucu dari Bahau al-Din Multan, yang lain dari Shaykh Nasir al-Din
khalifah dari Nizam al-Din Awlia, khalifah Baba Farid al-Din Ganjshaker,
khalifah dari Qutb al-Din Bakhtiar, khalifah Muin al-Din Ajmeri..
8. Silsilah
Zahidiyah. Dari Badr al-Din Zahid yang merupakan khalifah Sadr al-din
Samarqand, khalifah Abd al-Qasim, khalifah Qutb al-Din Abd al-Majid,
khalifah Abu Ishaq Gazruni, khalifah Hussain Bazyar dari Herat, khalifah
Muhammad Roem, khalifah Junayd Baghdadi hingga ke Imam Ali.
9. Silsilah
Anshariyah. Dimulai dari Abd Allah Anshari, khalifah dari Abd al-Hasan
Qirqani, khalifah Abi Yazid Bistami. Dia juga menyambung dari Abu
al-Abbas Qassab, khalifah dari Abu Muhammad Abd Allah Tabri, khalifah
Abu Muhammad al-Dariri, khalifah Junayd Baghdadi hingga ke Imam Ali.
10. Silsilah
Safwiyah. Dari Safi’ al-Din Ishaq, khalifah Zahid, khalifah Jamal
al-Din Tabrizi, khalifah Shihab al-Din Abhari, khalifah Rukun al-Din
Sajjazi, khalifah Qurb al-Din Abhari, khalifah Abu Najib Suhrawardi yang
menyambung hingga ke Junayd Baghdadi sampai ke Imam Ali.
11. Silsilah
Idrusiyah. Dari Mir Abd Allah al-Makki Idrusi, dia adalah khalifah dari
Abu Bakar, khalifah Abd al-Rahman, khalifah dari Shaykh Mawla, khalifah
Ali, khalifah Shaykh Alwi, khalifah Muhammad bin Ali, khalifah Abu
Muhammad Maghribi, berjenjang ke atas sampai ke Junayd Baghdadi. Shaykh
Idrus juga menerima kekhalifahan dari silsilah Suhrawardi.
12. Silsilah Qalandariyah. Silsilah ini berada di beberapa shaykh yang memiliki beberapa silsilah.
Dikenal dengan Qalandariyah karena anggotanya merupakan kaum Qalandari
(kaum sufi mabuk). Beberapa Qalander adalah: Muhammad Qalander, Shaykh
Haidar Qalander, Hussein Balkhi, Shaykh Tabrizi, Fakhr al-Din Iraqi,
dll.
E. Adanya Ajaran (dzikir)
Salah satu bagian terpenting dalam tarekat yang hampir selalu dikerjakan ialah dzikir. Dzikir
artinya mengingat kepada Tuhan. Akan tetapi dalam mengingat kepada
tuhan, dalam tarekat dibantu dengan berbagai macam ucapan, yang menyebut
nama Allah atau sifat-sifatnya, atau kata-kata yang mengingat kepada
Allah.
Ahli
tarekat berkeyakinan, jika seorang hamba telah yakin, jika lahir
batinnya dilihat Allah dan segala perbuatan diawasi Allah, dan ucapannya
di dengar Allah, segala niat dan cita-cita di ketahui Allah, maka hamba
itu akan menjadi sorang yang benar, karena ia selalu ada dalam keadaan
memperhambakan dirinya kepada Allah.
Lalu
zikir berarti menyebut-nyebut nama Allah atau ma'rifat Allah, yang pada
keyakinan mereka itu akan melahirkan dua sifat pada manusia, pertama
seorang hamba Allah dan kedua kasih kepada Allah.
Jika
seorang hamba Allah takut kepada Allah, maka segala suruhnya akan
dikerjakannya dan segala larangannya akan dihentikannya. Seorang yang
kasih kepada Allah tentu akan memilih pekerjaan-pekerjaan yang disukai
Allah dan menggiatkan dia menjauhkan diri pada pekerjaan-pekerjaan yang
tidak disukai Tuhan.
Pada keyakinan golongan tarekat-tarekat tiap-tiap manusia tidak terlepas dari empat perkara. Pertama manusia itu kedatangan nikmat, kedua kedatangan bala, ketiga berbuat ta'at, dan keempat berbuat dosa.Selama manusia itu mempunyai nafsu yang turun naik, mestilah ia
mengerjakan salah satu pekerjaan dari empat macam tersebut. Jika pada
waktu itu lupa kepada Tuhan, maka nikmat itu akan membawa sombong,
tekebur dan tinggi hati padanya. Tetapi jika ia teringat kepada Tuhan
pada waktu ia menerima nikmat itu, sifatnya berlainan sekali, ia syukur
kepada Tuhan, yang akan membawa lebih baik kelakuannya.
Dengan alasan itulah golongan tarekat mempertahankan dzikir,
tidak saja arti mengingat Allah dalam hati, tetapi menyebut Allah
senantiasa kala dengan lidahnya untuk melatih segala anggotanya. Mereka
beranggapan, jika segala perbuatan dikerjakan tanpa mengingat Allah,
maka mereka beranggapan kegiatan itu adalah kosong, akan hampa dari
pahala yang sebenarnya.
Di antara dalil-dalil yang mereka (golongan tarekat) kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama: Kerana mengerjakan zikir itu mengingatkan kepada Allah, dan semata-mata menjunjung nama Allah. Firman Allah: "Hai
segala mereka yang percaya kepada Allah sebut olehmu akan Allah dengan
sebutan yang banyak dan ucaplah tasbih pada pagi-pagi dan petang- petang". (Quran Al-Mu’minun: 41).
Kedua:
Orang yang zikir Allah itu mengingat akan Allah dan Allah mengingat
pula akan orang itu. Firman Allah: "Sebut olehmu akan Daku, nescaya Aku
menyebut pula akan dikau". (Quran al-Baqoroh: 152).
Ketiga:
Dalam zikir Allah itu nyata benar kebesaran Allah, bahkan untuk selama
hidup, Firman Allah: "Zikir Allah itu terlebih besar daripada
ibadat-ibadat yang lain". (Quran an-Nur: 45).
Keempat:
Zikir Allah itu menyembuhkan segaia penyakit di dalam hati Dalam
kitab-kitab tasawuf jumlah penyakit di dalam hati itu ada kira-kira 60
macam. Maka untuk menyembuhkan segala penyakit itu ialah dengan zikir
Allah. Sabda Nabi: "Menyebut Allah itu ialah menyembuhkan penyakit. hati
ertinya memperbaiki hati". (Hadis Daihumi dari Anas bin Malik).
Kelima:
Zikir Allah itu menetapkan hati dan jikalau hati sudah tetap akan
segala anggota yang tujuh pun akan tetap pula mengerjakan segala suruhan
Allah, demikian sebaliknya. Firman Allah: "Ada pun segala mereka yang
iman, yang percaya kepada Allah dan yang tetap hatinya dengan zikir
Allah, ketahuilah olehmu bahawa dengan berzikir itu segala hati akan
tetap" (Quran ar-Ra’ad: 28).
IV. PENUTUP
Demikian
makalah ini kami sampaikan, semoga melalui pengetahuan ini dapat
menambah ketaqwaan kita terhadap Allah, dan dapat menuju puncak
keindahan dalam dunia tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga belas, Solo: Ramadhani, 1996.
Aceh, Abubakar, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Solo: Ramadhani, 1989.
Atjeh , Aboebakar, Tarekat Dalam Tasawwuf, Cet. Ke 6, Kota Bharu Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993.
Burhani, Ahmad Najib, “Tarekat” Tanpa Tarekat: Jalan Baru Menuju Sufi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Fata, Ahmad Khoirul, http://dunia.pelajar-Islam.or.id/dunia.pii/209/tarekat-sebuah-pengantar.html.
Huda, Sokhi, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008.
Syukur, Amin, Tasawuf Konstektual: Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
[1]
Unsur Pokok dalam Tarekat Adalah salah satu bahan diskusi dalam mata
kuliah tarekat dan suluk, yang diampu oleh Prof. Dr. Amin Syukur, MA.
[2] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008, h. 36.
[3] Amin Syukur, Tasawuf Konstektual: Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 50.
[4] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik,Cet. Ketiga belas, Solo: Ramadhani, 1996, h. 80.
[5] Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Solo: Ramadhani, 1989, h. 80.
[6] Abubakar Aceh, Ibid, h. 84.
[7] Amru, disadur pada situs http://annajahsolo.wordpress.com/2010/07/18/adab-seorang-murid/.
[8] Amin Syukur, Op. Cit, h. 53.
[9] Sokhi Huda, Op. Cit, h. 66.
[10] Sokhi Huda, ibid, h. 65.
[11] Ahmad Khoirul Fata, http://dunia.pelajar-Islam.or.id/dunia.pii/209/tarekat-sebuah-pengantar.html.
[12] Abubakar Aceh, Op. Cit, h. 278.
[13] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian HIstoris Tentang Mistik, Cet. Ketiga, Op.cit, h. 279.
[14] Aboebakar Atjeh, Tarekat Dalam Tasawwuf, Cet. Ke 6, Kota Bharu Kelantan: Pustaka Aman Press, 1993, h. 20.
No comments:
Post a Comment